Kapita Selekta Pemerintahan Daerah

PARADIGMA BARU
PENGELOLAAN KEUANGAN SEKTOR
PUBLIK DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

Oleh : Drs. Farhanuddin Jamanie M.Si

GOOD GOVERNANCE

Pengertian governance dapat diartikan sebagai cara mengelola urusan-urusan publik.  World Bank memberikan definisi governance sebagai “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society”. Sedangkan United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Dalam hal ini, World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan negara. Political governance mengacu pada proses pem¬buatan kebijakan (policy/strategy formulation). Economic governance mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang berimplikasi pada masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup. Administrative governance mengacu pada sistem implementasi kebijakan.

Jika mengacu pada World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Pengertian good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Sementara itu, World Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan ber-tanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Karakteristik Good Governance Menurut UNDP

UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good gover¬nance, meliputi:

♦ Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
♦ Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
♦ Transparency, transparansi dibangun atas dasar kebebasan mem¬peroleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
♦ Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder.
♦ Consensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
♦ Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan’ yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
♦ Efficiency and Effectiveness, pengelolaan sum.ber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif)-
♦ Accountability, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.

♦ Strategic vision, penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan.

Dari delapan karakteristik tersebut, paling tidak terdapat tiga hal yang dapat diperankan oleh akuntansi sektor publik yaitu penciptaan trans¬paransi, akuntabilitas publik, dan value for money (economy, efficiency, dan effectiveness).

REFORMASI SEKTOR PUBLIK

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama, pemberian otonomi daerah merupakan strategi untuk merespons tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing o/power, distribution o/ income, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional untuk menghadapi era perdagangan bebas.

Di samping itu, secara internal bangsa Indonesia tengah dilanda multikrisis, ancaman diisintegrasi bangsa, dan kepanikan publik yang diakibatkan oleh lemahnya keamanan dan ketertiban umum serta ketidakpastian hukum. Agar bangsa ini bisa secepatnya keluar dari belenggu krisis multidimensional dan tidak mengalami ancaman disintegrasi yang semakin parah, maka pemberian otonomi daerah merupakan langkah strategis yang harus dilakukan pemerintah secara bersungguh-sungguh. Pemberian otonomi daerah hendaknya jangan sekedar jargon politik semata sebagaimana pada masa-masa sebelumnya. Jika pemerintah pusat kali ini tidak serius dalam memberikan otonomi daerah, maka ongkos (cost) yang ditimbulkan akan lebih besar lagi.

Pemberian otonomi daerah tidak berarti permasalahan bangsa akan selesai dengan sendirinya. Otonomi daerah tersebut harus diikuti dengan serangkaian reformasi di sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tersebut tidak saja sekedar perubahan format lembaga, akan tetapi mencakup pembaharuan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel sehingga cita-cita reformasi yaitu menciptakan goodgovernance benar-benar tercapai.

Untuk mewujudkan good governance diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah baik struktur maupun infrastrukturnya. Kunci reformasi kelembagaan tersebut adalah pemberdayaan masing-masing elemen di daerah, yaitu masyarakat umum sebagai “stakeholder,” pemerintah daerah sebagai eksekutif, dan DPRD sebagai “shareholder”.

Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, karena perubahan tidaklah sekedar perubahan paradigma, namun juga perubahan manajemen. Model manajemen yang cukup populer misalnya adalah New Public Management yang mulai dikenal tahun 1980-an dan populer tahun 1990-an yang mengalami beberapa bentuk konsep, misalnya munculnya konsep “managerialism”, “market-based public administration”, “post-bureaucratic paradigm”, dan “entrepreneurial government. New Public Mana¬gement berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management tersebut menimbulkan-beberapa konsekuensi bagi pemerintah di antaranya adalah perubahan pendekatan dalam penganggaran dari penganggaran tradisional (traditional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance budget), tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender (compulsory competitive tendering contract).

Reformasi keuangan daerah berhubungan dengan perubahan sumber-sumber pembiayaan pemerintah daerah yang meliputi perubahan sumber-sumber penerimaan keuangan daerah. Dimensi reformasi keuangan daerah tersebut adalah:

a) Perubahan kewenangan daerah dalam pemanfaatan dana perimbang¬an keuangan
b) Perubahan prinsip pengelolaan anggaran
c) Perubahan prinsip penggunaan dana pinjaman dan deficit spending
d) Perubahan strategi pembiayaan

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi keleluasaan (diskresi) untuk mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang dimilikinya sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerah tersebut agar tidak mengalami defisit fiskal.

Selain reformasi kelembagaan dan reformasi manajemen sektor publik, untuk mendukung terciptanya good governance, maka diperlukan serangkaian reformasi lanjutan terutama yang terkait dengan sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah, yaitu:

1. Reformasi Sistem Pembiayaan (financing reform),
2. Reformasi Sistem Penganggaran (budgeting reform),
3. Reformasi Sistem Akuntansi (accounting reform),
4. Reformasi Sistem Pemeriksaan (audit reform), dan
5. Reformasi Sistem Manajemen Keuangan Daerah (financial mana¬gement reform).

Tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut adalah agar pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan dengan men¬dasarkan konsep value for money sehingga tercipta akuntabilitas publik (public accountability).

Reformasi keuangan daerah secara langsung juga akan berdampak pada perlunya dilakukan reformasi anggaran daerah (APBD). Reformasi anggaran (budgeting reform) meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggung-jawaban anggaran. “Berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1974, proses penyusunan, mekanisme pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah tidak diperlukan lagi pengesahan dari Menteri Dalam Negeri untuk APBD Propinsi dan pengesahan Gubernur untuk APBD Kabupaten/Kota, melainkan diperlukan pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui Peraturan Daerah.

Sejalan dengan perlunya dilakukan reformasi sektor publik, saat ini telah keluar Peraturan Pemerintah sebagai operasionalisasi dari UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Peraturan Pemerintah (PP) untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut adalah:

1. Peraturan Pemerintah (PP) No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan;
2. Peraturan Pemerintah (PP) No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;
3. Peraturan Pemerintah (PP) No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;
4. Peraturan Pemerintah (PP) No. 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah;
5. Peraturan Pemerintah (PP) No. 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah;
6. Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
7. Peraturan Pemerintah (PP) No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Ruang lingkup reformasi anggaran meliputi perubahan struktur ang¬garan {budget structure reform) dan perubahan proses penyusunan APBD (budget process reform). Perubahan struktur anggaran dilakukan untuk mengubah struktur anggaran tradisional yang bersifat line-item dan incrementalism. Perubahan struktur anggaran tersebut dimaksudkan untuk menciptakan transparansi dan meningkatkan akuntabilitas publik (public accountability). Dengan struktur anggaran yang baru tersebut akan tampak secara jelas besarnya surplus dan defisit anggaran serta strategi pembiayaan apabila terjadi defisit fiskal. Format baru APBD tersebut akan memudahkan dalam membuat perhitungan dana perimbangan yang menjadi bagian daerah. Hal tersebut juga memudahkan bagi publik untuk melakukan analisis, evaluasi, dan pengawasan atas pelaksanaan dan pengelolaan APBD. Pemerintah daerah juga dimungkinkan untuk membentuk dana cadangan. Dengan demikian, anggaran tidak harus dihabiskan selama tahun anggaran bersangkutan, namun bisa ditransfer ke dalam dana cadangan.

Reformasi anggaran tidak hanya pada aspek perubahan struktur APBD, namun juga diikuti dengan perubahan proses penyusunan anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam era otonomi daerah disusun dengan pendekatan kinerja. Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kinerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.

Berbagai perubahan tersebut harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang baik. Prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi:

♦ Akuntabilitas;
♦ Value for Money;
♦ Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity);
♦ Transparansi; dan
♦ Pengendalian.

Akuntabilitas

Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan, bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik.

Value for Money

Indikasi keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor publik dikelola dengan memperhatikan konsep value for money.

Dalam konteks otonomi daerah, value for money merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik {public money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah dan Anggaran Daerah yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila peme¬rintah daerah memiliki sistem akuntansi yang baik Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan Publik (Probity)

Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan.

Transparansi

Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Pengendalian

Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus sering dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbul¬nya varians dan tindakan antisipasi ke depan.

TANTANGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK UNTUK MEWUJUDKAN TRANSPARANSI

Transparansi berarti keterbukaan (openness) pemerintah dalam mem¬berikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan informasi keuangan dan informasi lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Untuk mela¬kukan pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik diperlukan informasi akuntansi yang salah satunya berupa laporan keuangan.

Laporan keuangan untuk mendukung pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik tersebut meliputi informasi yang digunakan untuk (a) membandingkan kinerja keuangan aktual dengan yang dianggarkan, (b) menilai kondisi keuangan dan hasil-hasil operasi, (c) membantu menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan masalah keuangan dan ketentuan lainnya, serta (d) membantu dalam mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas.

Pemerintah daerah selaku pengelola dana publik harus mampu menyediakan informasi keuangan yang diperlukan secara akurat, relevan, tepat waktu, dan dapat dipercaya. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki sistem informasi akuntansi yang handal. Jika sistem informasi akuntansi yang dimiliki masih lemah, maka kualitas informasi yang dihasilkan dari sistem tersebut juga kurang handal. Oleh karena itu, dalam rangka memantapkan otonomi daerah dan desentralisasi pemerin¬tah daerah hendaknya sudah mulai memikirkan investasi untuk pengem¬bangan sistem informasi akuntansi pemerintah daerah.

TANTANGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK DALAM MEWUJUDKAN AKUNTABILITAS PUBLIK

Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini adalah semakin menguatnya tuntutan akuntabilitas publik oleh lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah. Pada dasarnya, akuntabilitas publik adalah pemberian informasi dan pengung¬kapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk tahu (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be informed), dan hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to). Akuntansi sektor publik memiliki peran yang sangat vital dalam memberikan informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah daerah untuk memfasilitasi terciptanya transparansi dan akuntabilitas publik.

Governmental Accounting Standards Board (GASB) dalam Concepts Statement No. 1 tentang Objectives of Financial Reporting menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan dasar dari pelaporan keuangan di pemerintahan. Akuntabilitas adalah tujuan tertinggi pelaporan keuangan pemerintah. GASB menjelaskan keterkaitan akuntabilitas dan pelaporan keuangan sebagai berikut:

… Accountability requires governments to answer to the citizenry to justify the raising of public resources and the purposes for which they are used. Governmental accountability is based on the belief that the citizenry has a “right to know, ” a right to receive openly declared facts that may lead to public debate by the citizens and their elected representatives. Financial reporting plays a major rol e in fulfilling government ‘s duty to b e publicly accountable in a democratic society. (par. 56)

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntabilitas meliputi pemberian informasi keuangan kepada masyarakat dan pemakai lainnya sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua aktivitas yang dilakukan, bukan hanya aktivitas finansialnya saja. Concepts Statement No. 1 menekankan bahwa laporan keuangan pemerintah harus dapat memberikan informasi untuk mem¬bantu pemakai dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik.

Tuntutan dilaksanakannya akuntabilitas publik mengharuskan pemerintah daerah untuk memperbaiki sistem pencatatan dan pelaporan. Pemerintah daerah dituntut untuk tidak sekedar melakukan vertical reporting, yaitu pelaporan kepada pemerintah atasan (termasuk pemerintah pusat), akan tetapi juga melakukan horizontal reporting, yaitu pelaporan kinerja pemerintah daerah kepada DPRD dan masyarakat luas sebagai bentuk horizontal accountability. Salah satu tujuan reformasi pengeloaan keuangan daerah adalah mengubah pola pertanggungjawaban vertikal menjadi pola pertanggungjawaban horisontal.

Dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 telah melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, paradigma baru tersebut berupa tuntutan dilakukannya pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented). Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk dapat membuat laporan keuangan dan menyampaikan informasi keuangan tersebut secara transparan kepada publik. Laporan keuangan tersebut hendaknya mudah diperoleh oleh masyarakat dengan biaya yang murah.

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal secara langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan akuntansi sektor publik. Akuntansi sektor publik perlu mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebagai contoh adalah terjadinya perubahan sistem akuntansi dari single entry menjadi double entry, perubahan dari sistem akuntansi berbasis kas menjadi akuntansi akrual atau akrual modifikasian. Perubahan akuntansi dari single entry menjadi double entry merupakan bagian penting dari proses reformasi akuntansi sektor publik. Perubahan tersebut diharapkan dapat membantu meningkatkan transparansi dan memperbaiki efisiensi dan efektivitas sektor publik.

Memperbaiki kinerja sektor publik (pemerintahan) memang bukan sekedar masalah teknis belaka, akan tetapi akuntansi sektor publik sebagai alat untuk menciptakan good governance memiliki peran yang sangat vital dan signifikan terutama terkait dengan upaya untuk menghasilkan laporan keuangan dan transparansi informasi keuangan pemerintah daerah.

Reformasi Akuntansi Sektor Publik

Issue yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi sektor publik di Indonesia dan di kebanyakan negara berkembang adalah perubahan single entry menjadi double entry book keeping serta perubahan sistem akuntansi berbasis kas menjadi sistem akuntansi berbasis akrual.

Single Entry vs. Double Entry

Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan dengan alasan utama demi kemudahan dan kepraktisan. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan diciptakannya good public governance yang berarti tuntutan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan organisasi sektor publik, perubahan dari sistem single entry menjadi double entry dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan. Hal tersebut dikarenakan penggunaan single entry tidak dapat memberikan informasi yang komprehensif dan mencerminkan kinerja yang sesungguhnya.

Single entry memang relatif mudah dan sederhana, akan tetapi dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, alasan demi kemudahan dan kepraktisan menjadi tidak relevan lagi. Pengaplikasian pencatatan transaksi dengan sistem double entry ditujukan untuk meng¬hasilkan laporan keuangan yang auditable dan traceable. Hal ini merupa¬kan faktor utama untuk menghasilkan informasi keuangan yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada publik.

Cash Basis vs Accrual Basis

Kelebihan cash basis adalah mencerminkan pengeluaran yang aktual, riil dan obyektif. Sedangkan kekurangannya adalah tidak dapat mencer¬minkan kinerja yang sesungguhnya karena dengan cash basis tidak dapat diukur tingkat efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan, program, atau aktivitas dengan baik. Teknik akuntansi berbasis akrual dinilai dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya, lebih akurat, komprehensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik.

Pengaplikasian accrual basis dalam akuntansi sektor publik pada dasarnya adalah untuk menentukan cost of service dan charging for service, yaitu untuk mengetahui besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pelayanan bagi publik serta menentukan harga pelayanan yang dibebankan kepada publik. Hal ini berbeda dengan tujuan utama pengaplikasian .accrual basis dalam sektor swasta yang digunakan untuk mengetahui dan membandingkan besarnya biaya terhadap pendapatan (proper matching cost against revenue). Perbedaan ini disebabkan karena pada sektor swasta orientasi lebih difokuskan pada usaha untuk memaksimumkan laba (profit oriented), sedangkan dalam sektor publik orientasi difokuskan pada optimalisasi pelayanan publik (service oriented).

Perlunya Sistem Akuntansi Keuangan Daerah

Untuk dapat menghasilkan laporan keuangan yang relevan, handal, dan dapat dipercaya, pemerintah daerah harus memiliki sistem akuntansi yang handal. Sistem akuntansi yang lemah menyebabkan pengendalian intern lemah dan pada akhirnya laporan keuangan yang dihasilkan juga kurang handal dan kurang relevan untuk pembuatan keputusan. Saat ini sistem akuntansi yang dimiliki pemerintah daerah rata-rata masih lemah.

Selain sistem akuntansi yang handal, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, maka diperlukan Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah atau secara lebih luas Standar Akuntansi Keuangan Sektor Publik. Saat ini sedang disiapkan standar akuntansi keuangan untuk pemerintah daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Jika dilihat dari perspektif historis, usaha pengembangan sistem akuntansi keuangan pemerintah telah dirintis sejak dua puluh tahun silam, akan tetapi sampai saat ini sistem yang ada belum berjalan secara efektif dan efisien. Sejak tahun 1980-an Departemen Dalam Negeri telah berupaya mengembangkan sistem akuntansi yang dipandang cocok dengan corak pemerintah daerah, dan untuk itu telah dihasilkan konsep Sistem Akuntansi dan Pengendalian Anggaran/SAPA (Triharta, 1999).

Pada tahun 1985 Sistem Administrasi Keuangan Pemerintah Daerah sendiri telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Hal ini terlihat dengan mulai diperkenalkannya sistem double entry (pembukuan berpasangan) dan akuntansi berbasis akrual yang diformulasikan oleh Studi Penyempurnaan Sistem Akuntansi dan Manajemen Keuangan Daerah yaitu tim yang dibentuk oleh Pusat Analisa Keuangan Daerah (PAKD), Badan Analisa Keuangan Negara Perkreditan dan Neraca Pembayaran (BAKNPNP) – Departemen Keuangan (Yasin, 1999). SAPA merupakan penyempurnaan dari proposal “Sistem Perencanaan dan Manajemen Ke¬uangan Daerah (SPMKD)” yang dibuat oleh PT Redecon, yaitu konsultan yang ditunjuk oleh Tim Studi Penyempurnaan Sistem Akuntansi dan Manajemen Keuangan Daerah dengan bantuan World Bank.

SAPA adalah sistem akuntansi untuk pemerintah daerah, sedangkan sistem akuntansi untuk pemerintah pusat upaya pengembangannya telah dilakukan oleh Departemen Keuangan sejak tahun 1982 melalui Proyek Penyempurnaan Sistem Akuntansi dan Pengembangan Akuntansi, dan mulai aktif bekerja tahun 1991. Untuk pelaksanaan proyek tersebut, dibentuk secara khusus Sub Tim Penyempurnaan Akuntansi Pemerintah (PSAP) yang hasilnya antara lain menerapkan sistem pembukuan ber¬pasangan dalam akuntansi pemerintah pusat (Triharta, 1999).

Sementara itu di Indonesia belum ada Standar Akuntansi Keuangan Sektor Publik yang baku yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam penyusunan laporan keuangan dan bagi auditor dalam mengaudit laporan tersebut. Tidak adanya standar akuntansi yang memadai akan menimbulkan implikasi negatif berupa rendahnya reliabilitas informasi keuangan serta menyulitkan dalam pengauditan. Usaha untuk membuat standar akuntansi keuangan pemerintah sudah pernah dilakukan oleh Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN). B AKUN merupakan lembaga yang dibentuk oleh Departemen Keuangan tahun 1992, yang ditugasi untuk menyelenggarakan akuntansi dan mempersiapkan laporan pertanggungjawaban konstitusional pemerintah pusat. Selain itu BAKUN juga diserahi tugas untuk membantu melakukan pengembangan akuntansi untuk instansi (agency accounting). Pada tahun 1995 BPK telah mengirim surat kepada Menteri Keuangan untuk mempersiapkan Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah, dan BAKUN sebagai Central Accounting Office ditugasi untuk mempersiapkan draftnya. Namun sampai saat ini, draft tersebut masih perlu dilakukan pembahasan dan public hearing dengan user agar dapat dijadikan standar (Sugijanto, 1999).

Upaya untuk menghasilkan standar akuntansi keuangan yang baku terus dilakukan. Pada tahun 1999 yang lalu Ikatan Akuntan Indonesia telah membentuk kompartemen baru yaitu Kompartemen Akuntan Sektor Publik. Salah satu tugas kompartemen baru ini adalah menyusun standar akuntansi keuangan sektor publik. Saat ini baru dihasilkan exposure draft mengenai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Sektor Publik yang diterbitkan November 2000. Exposure draft tersebut terdiri atas lima bagian, yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Sektor Publik tentang Penyajian Laporan Keuangan; Laporan Arus Kas; Laporan Keuangan Konsolidasi dan Akuntansi untuk Entitas Kendalian; Kos Pinjaman; dan Surplus atau Defisit Neto untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.

Dengan telah dihasilkannya exposure draft tersebut diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi sudah dapat disahkan menjadi standar yang baku. Sebenarnya Indonesia dalam hal ini sudah cukup ketinggalan, karena baru sekarang mempunyai rancangan standar akuntansi keuangan sektor publik. Tidak adanya standar akuntansi sektor publik di Indonesia saat ini menyebabkan kesulitan dalam mengaudit laporan keuangan pemerintah. Standar Auditing Pemerintah (SAP) sudah ada dan saat ini sedang kita tunggu Standar Akuntansi Keuangan Sektor Publik (SAKSP). Pada perkembangan selanjutnya perlu juga dipersiapkan alat ukur kinerja (performance measurement) untuk mengukur kinerja lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia.

Perlunya Informasi Akuntansi Untuk Mewujudkan Akuntabilitas Publik

Salah satu alat untuk memfasilitasi terciptanya transparansi dan akuntabilitas publik adalah melalui penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang komprehensif. Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah daerah diharapkan dapat menyajikan laporan keuangan yang terdiri atas Laporan Surplus/Defisit, Laporan Realisasi Anggaran (Perhitungan APBD), Laporan Aliran Kas, dan Neraca, Laporan ‘keuangan tersebut merupakan komponen penting untuk menciptakan akuntabilitas sektor publik dan merupakan salah satu alat ukur kinerja finansial pemerintah daerah. Bagi pihak eksternal, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang berisi informasi keuangan daerah akan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk pengambilan kepu-tusan ekonomi, sosial, dan politik. Sedangkan bagi pihak intern pemerintah daerah, laporan keuangan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk penilaian kinerja.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, tantangan yang dihadapi akuntansi sektor publik adalah menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk memonitor akuntabilitas pemerintah daerah yang meliputi akuntabilitas finansial (financial accounta¬bility), akuntabilitas manajerial (managerial accountability), akuntabilitas hukum {legal accountability), akuntabilitas politik (political accountability), dan akuntabilitas kebijakan (policy accountability). Akuntansi sektor publik memiliki peran utama untuk menyiapkan laporan keuangan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan akuntabilitas publik.

Terdapat beberapa alasan mengapa pemerintah daerah perlu membuat laporan keuangan. Dilihat dari sisi internal, laporan keuangan merupakan alat pengendalian dan evaluasi kinerja pemerintah dan unit kerja pemerintah daerah. Sedangkan dari sisi pemakai eksternal, laporan keuangan pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk mekanisme pertanggungjawaban dan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan. Karena laporan tersebut akan digunakan untuk pembuatan keputusan, maka laporan keuangan pemerintah daerah perlu dilengkapi dengan pengungkapan yang memadai (disclosure) mengenai informasi-informasi yang dapat mempengaruhi keputusan.

TUJUAN PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

Secara garis besar, tujuan umum penyajian laporan keuangan oleh pemerintah daerah adalah:

1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik serta sebagai bukti pertang¬gungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship);
2. Untuk memberikan informasi yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.

Secara khusus, tujuan penyajian laporan keuangan oleh pemerintah daerah adalah:

1. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit pemerintah;
2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya;
3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuai¬annya dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan ketentuan lain yang disyaratkan;
4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksi pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan operasional;
5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional:

(a) untuk menentukan biaya program, fungsi, dan aktivitas sehingga memudahkan analisis dan melakukan perbandingan dengan kriteria yang telah ditetapkan, membandingkan dengan kinerja periode-periode sebelumnya, dan dengan kinerja unit pemerintah lain;
(b) untuk mengevaluasi tingkat ekonomi dan efisiensi operasi, program, aktivitas, dan fungsi tertentu di unit pemerintah;
(c) untuk mengevaluasi hasil suatu program, aktivitas, dan fungsi serta efektivitas terhadap pencapaian tujuan dan target;
(d) untuk mengevaluasi tingkat pemerataan (equity).

AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK SEBAGAI ALAT PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN KEUANGAN PUBLIK

Peran utama akuntansi sektor publik adalah memberikan informasi akuntansi yang relevan, handal, dan dapat dipercaya kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi tersebut untuk pengambilan keputusan. Tujuan umum akuntansi sektor publik bagi organisasi pemerintahan adalah:

1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship);

2. Untuk memberikan informasi yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajer dan organisasi.

Informasi akuntansi diperlukan untuk melakukan perencanaan keuangan, menghitung biaya program, dan penganggaran. Anggaran publik merupakan alat perencanaan sekaligus alat pengendalian peme¬rintah. Anggaran sebagai alat perencanaan mengindikasikan target yang harus dicapai oleh pemerintah, sedangkan anggaran sebagai alat pengen¬dalian mengindikasikan alokasi sumber dana publik yang disetujui legislatif untuk dibelanjakan. Proses penganggaran sektor publik melibatkan partisipasi banyak pihak, sehingga informasi (finansial) sangat diperlukan agar masyarakat umum (publik) dapat mengevaluasi anggaran yang diajukan oleh pemerintah.

Membuat anggaran membutuhkan pertimbangan-pertimbangan teknis akuntansi yang matang. Dalam membuat anggaran, akuntansi sektor publik dibutuhkan terutama untuk mengestimasi biaya program dan kegiatan, serta memprediksi kondisi ekonomi pemerintah dan perubahan-perubahan yang akan terjadi. Informasi akuntansi sangat membantu dalam pemilihan program yang efektif sesuai dengan kemampuan ekonomi pemerintah.

Terkait dengan manajemen keuangan daerah, akuntansi sektor publik (terutama akuntansi manajemen) berperan dalam hal:

1. Perencanaan strategik;
2. Pemberian informasi biaya;
3. Penilaian investasi publik;
4. Penganggaran; dan
5. Evaluasi kinerja

Perencanaan Strategik

Akuntansi manajemen sektor publik sudah dibutuhkan sejak tahap perencanaan. Pada tahap perencanaan strategik (pembuatan RENSTRADA), pemerintah daerah membuat alternatif-alternatif program yang dapat mendukung strategi organisasi. Program-program tersebut diseleksi kemudian dipilih program yang sesuai dengan skala prioritas dan sumber daya yang dimiliki. Peran akuntansi manajemen sektor publik adalah memberikan informasi untuk menentukan berapa biaya program (cost of program), berapa biaya suatu aktivitas (cost of activity), dan evaluasi kinerja periode sebelumnya sehingga berdasarkan informasi tersebut pemerintah daerah dapat menentukan berapa anggaran yang dibutuhkan dikaitkan dengan sumber daya yang dimiliki.

Untuk memberikan jaminan dialokasikannya sumber daya. input secara ekonomis, efisien, dan efektif sesuai dengan konsep value for money, maka diperlukan informasi akuntansi manajemen yang akurat, relevan, dan handal untuk menghitung besarnya biaya program, aktivitas, atau proyek. Sistem informasi akuntansi manajemen yang baik dapat mengurangi peluang terjadinya pemborosan, kebocoran dana, dan mendeteksi program-program yang tidak layak secara ekonomi.

Pemberian Informasi Biaya

Akuntansi manajemen sektor publik memiliki peran yang strategis dalam perencanaan keuangan publik terkait dengan identifikasi biaya-biaya yang terjadi. Dalam hal ini, akuntansi manajemen sektor publik membutuhkan cosi accounting untuk pengambilan keputusan biaya. Akuntansi biaya pada sektor publik berperan untuk memberikan informasi mengenai pembelanjaan publik yang dapat digunakan oleh pihak internal (pemerintah) dan pihak eksternal (masyarakat, LSM, Universitas,, dan sebagainya) “untuk perencanaan, pengendalian, dan pengambilan keputusan. Peran akuntansi manajemen dalam pemberian informasi biaya meliputi penentuan klasifikasi biaya, biaya apa saja yang masuk kategori biaya rutin (recurrent expenditure) dan yang masuk kategori biaya modal (capital expenditure), controllable dan uncontrollable, biaya tetap dan variabel, dan sebagainya. Untuk memudahkan dalam melakukan identifikasi biaya, maka diperlukan pusat-pusat pertanggungjawaban di pemerintah daerah yang berfungsi sebagai accounting entity dan budget entity. Informasi akuntansi manajemen diharapkan dapat membantu manajer publik dalam menentukan dan melaporkan biaya.

Penilaian Investasi

Akuntansi manajemen dibutuhkan pada saat organisasi sektor publik hendak melakukan investasi, yaitu untuk menilai kelayakan investasi secara ekonomi dan finansial. Akuntansi manajemen diperlukan dalam penilaian investasi karena untuk dapat menilai investasi diperlukan identifikasi biaya, risiko, dan manfaat atau keuntungan dari suatu investasi. Hal tersebut penting untuk menghindari dilakukannya investasi yang sebenarnya tidak layak secara ekonomi dan finansial. Dalam penilaian suatu investasi, faktor yang harus diperhatikan oleh akuntan manajemen adalah tingkat diskonto, tingkat inflasi, tingkat risiko >dan faktor ketidakpastian, serta sumber pendanaan untuk investasi yang akan dilakukan. Akuntansi manajemen sektor publik diperlukan dalam penilaian investasi publik terutama dalam analisis biaya-manfaat (cost benefit analysis) dan analisis efektivitas biaya (cost-effectiveness analysis).

Penganggaran

Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa akuntansi manajemen memainkan peran yang vital dalam proses pemilihan program, penentuan biaya program, dan penganggaran. Akuntansi manajemen berbicara tentang perencanaan dan pengendalian, sedangkan salah satu fungsi anggaran adalah untuk alat perencanaan dan pengendalian. Dengan demikian, akuntansi manajemen sangat erat hubungannya dengan penganggaran.

Akuntansi manajemen berperan untuk memfasilitasi terciptanya anggaran publik yang efektif. Terkait dengan tiga fungsi anggaran, yaitu sebagai alat alokasi sumber daya publik, alat distribusi, dan stabilisasi, maka akuntansi manajemen merupakan alat yang vital untuk proses mengalokasikan dan mendistribusikan sumber dana publik secara ekonomis, efisien, efektif, adil, dan merata. Untuk mencapai hal tersebut harus didukung dengan manajemen sumber daya manusia yang handal.

Evaluasi Kinerja

Akuntansi manajemen sektor publik berperan dalam memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional, di antaranya:

(a) untuk menentukan biaya program, fungsi, dan aktivitas sehingga ,memudahkan analisis dan melakukan perbandingan dengan kriteria yang telah ditetapkan, membandingkan dengan kinerja periode-periode sebelumnya, dan dengan kinerja unit pemerintah lain;
(b) untuk mengevaluasi tingkat ekonomi dan efisiensi operasi, program, aktivitas, dan fungsi tertentu di unit pemerintah;
(c) untuk mengevaluasi hasil suatu program, aktivitas, dan fungsi serta efektivitas terhadap pencapaian tujuan dan target;
(d) untuk mengevaluasi tingkat pemerataan dan keadilan (equity).

HAMBATAN DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

Salah satu agenda reformasi total di Indonesia adalah menciptakan good governance dalam rangka membentuk Indonesia baru. Harus diakui bahwa saat ini good governance masih menjadi “mimpi besar” bagi bangsa Indonesia. Jika dilihat dari kaca mata akuntansi sektor publik, paling tidak terdapat tiga permasalahan utama mengapa good governance masih jauh dari kenyataan. Pertama, belum adanya sistem akuntansi pemerintah daerah yang baik yang dapat mendukung pelaksanaan pencatatan dan pelaporan secara handal. Tidak adanya sistem akuntansi yang handal menyebabkan lemahnya pengendalian intern (internal control) pemerintah daerah. Hal tersebut dialami oleh hampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Jika sistem akuntansinya tidak memadai maka sudah barang tentu sistem pencatatan dan pelaporan akuntansinya kurang handal.

Kedua, sangat terbatasnya jumlah personel pemerintah daerah yang berlatar belakang pendidikan akuntansi, sehingga mereka tidak begitu peduli atau mungkin tidak mengerti dengan permasalahan ini. Di sisi lain, sangat sedikit sarjana akuntansi yang qualified yang tertarik untuk mengembangkan profesinya di pemerintah daerah karena kompensasi yang rendah yang dapat ditawarkan oleh pemerintah daerah. Dengan otonomi daerah, nantinya pemerintah daerah sendiri yang berwenang untuk menggaji pegawainya, sehingga jika perekonomian daerah tersebut maju maka daerah dapat memberikan kompensasi yang lebih memuaskan bagi pegawainya.

Ketiga, belum adanya standar akuntansi keuangan sektor publik yang baku. Standar akuntansi tersebut sangat penting sebagai pedoman untuk pembuatan laporan keuangan dan sebagai salah satu mekanisme pengen¬dalian. Tidak adanya standar akuntansi yang memadai akan menimbulkan implikasi negatif berupa rendahnya reliabilitas informasi keuangan serta menyulitkan dalam pengauditan. Upaya untuk menghasilkan standar akuntansi keuangan yang baku memang sudah dilakukan. Pada tahun 1999 yang lalu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah membentuk kompartemen baru yaitu Kompartemen Akuntan Sektor Publik (KASP). Salah satu tugas kompartemen baru ini adalah menyusun standar akuntansi keuangan sektor publik.

Standar Akuntansi Keuangan Sektor Publik tentang Penyajian Laporan Keuangan; Laporan Arus Kas; Surplus atau Defisit Neto untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar dan Perubahan Kebijakan Akuntansi; Pengaruh Perubahan dalam Kurs Mata Uang Asing; Kos Pinjaman; Laporan Keuangan Konsolidasi dan Akuntansi untuk Entitas Kendalian; Akuntansi untuk Investasi dalam Asosiasi; dan Pelaporan Keuangan Mengenai Partisipasi dalam Joint Ventures.

OPTIMALISASI PENGAWASAN SEKTOR PUBLIK

Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya berarti pemberian kewe-nangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan keleluasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan yang kuat. Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang {balance of power) bagi eksekutif daerah dan partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan di daerah {social control).

Pengawasan oleh DPRD tersebut harus sudah dilakukan sejak tahap perencanaan, tidak hanya pada tahap pelaksanaan dan pelaporan saja sebagaimana yang terjadi selama ini. Hal ini penting karena dalam era otonomi, DPRD memiliki kewenangan untuk menentukan Arah dan Kebijakan Umum APBD. Apabila DPRD lemah dalam tahap perencanaan (penentuan Arah dan Kebijakan Umum APBD), maka dikhawatirkan pada tahap pelaksanaan akan mengalami banyak penyimpangan. Akan tetapi harus dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap eksekutif daerah hanyalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan ipolicy) yang digariskan bukan pemeriksaan. Fungsi pemeriksaan hendaknya diserahkan kepada lembaga pemeriksa yang memiliki otoritas dan keahlian profesional, misalnya BPKP, BPK, atau akuntan publik yang independen. Jika DPRD menghendaki, dewan dapat meminta BPK atau auditor independen lainnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap kinerja keuangan eksekutif.

Untuk memperkuat fungsi pengawasan, DPRD bisa membentuk badan ombudsmen yang berfungsi sebagai pengawas independen untuk mengawasi jalannya suatu lembaga publik. Namun untuk fungsi pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan yang memiliki otoritas dan keahlian profesional. Hal tersebut agar DPRD tidak disibukkan dengan urusan-urusan teknis semata, sehingga Dewan dapat lebih berkonsentrasi pada permasalahan-permasalahan yang bersifat kebijakan.

Penjelasan diatas menggambarkan paradigma baru pengelolaan keuangan daerah sebagai salah satu kunci untuk menghadapi era global selain dengan mengembangkan otonomi dan desentralisasi. Selain itu juga Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, meningkatnya profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah, dan reformasi keuangan daerah maka hal ini akan mampu mendukung terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggungjawab serta memper¬kuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekono¬mian global.

Kajian otonomi daerah dan paradigma baru tentang reinventing government serta paradigma baru diatas akan membawa kita pada implikasi yang terjadi pada implementasi otonomi daerah yang tengah berjalan saat ini. Pembahasan masalah ini akan disajikan pada bagian kedua dan buku ini yang terdiri dari Bab IV (Implikasi Otonomi Daerah terhadap Sistem Ekonomi Nasional dan Sektor Perbankan) dan Bab V (Implikasi Otonami Daerah terhadap Sektor Kesehatan dan Sektor Pendidikan).

Tinggalkan komentar